Jurnalisme Berbasis Data: Pada Mulanya Jerman
Data adalah bahan baku di zaman digital ini. Data dalam jumlah besar menjanjikan cara riset dan format publikasi baru di dunia jurnalisme.
Jurnalisme data (data driven journalism) merupakan fenomena baru dalam dunia jurnalistik Indonesia. Wahyu Dhyatmika, menjelaskan bahwa data yang dimaksud dalam jurnalisme data berupa kumpulan data yang terstruktur dan bisa dianalisis secara statistik oleh publik. Fenomena jurnalisme data lahir karena keterbukaan informasi. Melawan hoax dan disinformasi, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) meluncurkan platform atau laman jurnalismedata.id. Laman ini menjadi sarana belajar bagi para jurnalis terkait dengan jurnalisme data. \"AJI cukup lama menyadari bahwa jurnalisme data ini sesuatu yang sangat penting. Jadi karena menyadari kebutuhan bahwa minat untuk belajar jurnalisme data ini sangat tinggi, wartawan yang memerlukan keterampilan ini sangat banyak, dan kita tidak punya banyak uang, kita meluncurkannya secara online, dan bentuknya adalah dalam bentuk jurnalsimedata.id,\" kata Ketua Umum AJI Abdul Manan di Hotel Mercure, Sabang, Jakarta Pusat, Senin (4/2/2019). Menyoroti tren jurnalisme berbasis data, radarcirebon.com mencatat bahwa penggunaan data dalam sebuah berita menguatkan keabsahan sebuah berita dan dapat menghilangkan penggunaan \'katanya\' yang dapat membuat pembaca ragu terhadap sebuah berita. Belum pernah data dikumpulkan dalam jumlah dan dengan keragaman seperti sekarang, untuk selanjutnya direkam dan disimpan dalam bank data. Bagi jurnalisme, banjir data tersebut merupakan harta karun, karena mengandung informasi dan cerita yang siap diungkapkan melalui penggabungan, pembobotan, dan penilaian. Jurnalisme data – itulah nama yang disematkan kepada tren di mana himpunan data yang dapat dibaca oleh mesin dianalisis dengan perangkat lunak, sehingga data yang membeludak tersebut dapat menghasilkan nilai tambah berupa informasi yang koheren. Informasi itu harus disajikan dan divisualisasikan dengan cara yang mudah dipahami. Dalam keadaan ideal, jurnalisme data memungkinkan para pengguna menarik kesimpulan sendiri berkat penyediaan lingkungan riset interaktif serta publikasi data mentah – jurnalisme data mendobrak wujud linear format publikasi tradisional dengan memanfaatkan ciri khas internet: Hipertekstual, multimedial, dan interaktif. Jurnalisme data mula-mula digulirkan oleh redaksi online harian Inggris The Guardian, yang pada tahun 2010 mengolah ribuan dokumen rahasia mengenai Perang Afghanistan yang diterima dari platform pengungkapan Wikileaks. Dari lebih dari 90.000 himpunan data dihasilkan laporan yang diperkaya dengan konten multimedia serta grafik interaktif. Di samping itu, harian tersebut mengunggah bank data yang dapat ditelusuri oleh pengguna. The Guardian kemudian menjelaskan langkah itu sebagai suatu keharusan: Cara-cara lazim seperti teks atau tabel kurang memadai untuk mengetahui kadar informasi yang terkandung dalam himpunan data yang melimpah. Jurnalisme data, sebaliknya, menawarkan kemungkinan riset dan publikasi yang bermakna. The Guardian menjadi pelopor jurnalisme data dengan mengolah informasi digital sehingga menjadi ramah pembaca. Tidak lama kemudian jurnalisme data mulai merambah ke Jerman dalam berbagai format. Salah satu yang paling dikenal adalah aplikasi Verräterisches Handy (ponsel pembocor rahasia) oleh Zeit Online di tahun 2011. Ketika itu, politikus Malte Spitz dari partai Die Grünen(Partai Hijau) memberi akses kepada datanya yang tersimpan dalam kurun waktu Agustus 2009 sampai Februari 2 10. Setelah ditampilkan dalam bentuk peta animasi, data tersebut menunjukkan dengan tepat di mana Spitz berada pada setiap saat. Untuk mempertegas betapa mendetail hidup seseorang dapat digambarkan, Zeit online pun mengaitkan geodata tersebut dengan informasi mengenai Malte Spitz yang tersedia bebas di internet, seperti cuitan atau artikel blog. Tema pengawasan melalui penyimpanan data semakin dikembangkan melalui artikel tambahan. Pengguna dapat mengunduh data tersebut, menelusuri hidup Spitz dengan kecepatan yang dapat dipilih sendiri, serta mengunjungi titik waktu tertentu. Sementara itu, format “Parteispenden-Watch” (Pemantau sumbangan partai) dari harian taz sejak 2009 menampilkan sumbangan untuk partai politik dalam bentuk peta interaktif. Berkat penyajian secara grafis berikut teks pendamping, konteks sumbangan menjadi transparan dan dapat dipahami. Surat kabar Berliner Morgenpost pun memilih pendekatan jurnalisme data untuk membahas tema pengungsi: Berbagai grafik memperjelas tempat asal para pengungsi yang tiba antara Januari dan Agustus 2015 dan di negara bagian mana saja mereka ditampung. Jurnalisme data memang berkembang di Jerman, tetapi prosesnya cenderung tersendat-sendat. Media Jerman harus menghadapi berbagai rintangan. Peraturan perlindungan data yang ketat di Jerman kadang-kadang menyebabkan para jurnalis sangat sulit memperoleh akses ke himpunan data. Gerakan Open-Data pun, yang mencita-citakan kebebasan mengakses dan memanfaatkan data yang dibiayai oleh negara dan yang dapat menjadi basis data bagi banyak proyek jurnalisme data, belum terlalu didukung oleh birokrasi Jerman. Selama ini publikasi data oleh instansi pemerintah bersifat sukarela dan cenderung dikerjakan dengan setengah hati. Ditambah lagi karena hak cipta Eropa-kontinental mencegah, misalnya, peta digunakan secara bebas untuk keperluan visualisasi. Jurnalis data bekerja berdasarkan prinsip-prinsip etika dan keahlian yang sama seperti jurnalis klasik. Namun berhubung jurnalis data menggunakan material sumber dan peralatan yang berbeda, peran mereka pun berubah: Dulu jurnalis memandang diri sebagai penjaga sumber informasi, tetapi pada proyek jurnalisme data mereka kini dituntut lebih terbuka. Sebab jurnalisme data didasarkan pada prinsip-prinsip budaya internet yang bebas dan terbuka. Ini mencakup gagasan bahwa dengan beragih data dengan para pengguna, redaksi akan memperoleh informasi baru yang berguna untuk memperdalam pembahasan. Kecuali itu, para jurnalis memerlukan keterampilan teknis untuk memanfaatkan peluang yang ditawarkan oleh internet dan menghasilkan artikel yang sesuai. Di masa mendatang, riset tidak jarang juga akan melibatkan “scraping”, yaitu penelusuran laman dan pengumpulan data mentah. Namun itu tidak berarti bahwa kaum jurnalis akan menjadi “penambang data”, ahli statistik, dan pembuat program. Dan itu juga tidak berarti bahwa ke depan jurnalisme tidak lagi membutuhkan jurnalis, karena program mungkin akan dapat secara mandiri meminta data dari bank data, mengolahnya, dan menyajikannya kembali. Berhubung data tidak dapat berbicara, kerangka jurnalisme klasik masih tetap diperlukan: Baru setelah sumber data dijelaskan, berbagai kaitan ditunjukkan, dan hasil-hasil dianalisis, himpunan data yang besar dapat memberikan nilai tambah berupa informasi. (*)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: